KEGIATAN PEMBELAJARAN 1
Membandingkan Kritik dan Esai
A. Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari kegiatan pembelajaran 1 ini diharapkan Kalian dapat mengetahui bagaimana membandingkan kritik dan esai dengan kritis, kreatif dan mandiri.
B. Uraian Materi
1. Pengertian kritik
Kritik merupakan penilaian terhadap suatu karya secara seimbang, baik kelemahan maupun kelebihannya. Karya yang dikritik biasanya berupa karya seni, baik karya astra, musik, lukis, buku, maupun film. Fokus dari kritik adalah menilai karya.
2. Pengertian esai
Esai merupakan karangan prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut pandang pribadi penulisnya. Fokus dari esai mengarah pada cara pandang seseorang terhadap suatu objek atau peristiwa.
Kritik dan esai adalah dua jenis tulisan yang hampir sama. Keduanya sama-sama mengungkapkan pendapat atau argumen. Namun, penulis kritik dan esai haruslah melakukan analisis dan penilaian secara objektif terlebih dahulu agar dapat dipercaya.
Berdasarkan pengetahuan (isi) yang dikaji di dalamnya, perbandingan kritik dan esai dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 1: Perbandingan Kritik dan Esai Berdasarkan Pengetahuan yang Disajikan
Dilihat dari pandangan penulisnya, perbandingan kritik dan sastra dapat diringkas sebagai berikut.
Tabel 2: Perbandingan Kritik dan Esai Berdasarkan Pandangan Penulisnya
C. Rangkuman
1.
Kritik penilaiannya bersifat obyektif dan esai bersifat subyektif.
2.
Kritik menampilkan deskripsi karya tetapi esai tidak menampilkan
deskripsi karya.
3.
Kritik Menyajikan data obyektif. Sedangkan esai tidak
membutuhkandata.
D. Penugasan Mandiri
Berdasarkan perbandingan di atas, bacalah dua
teks berikut ini. Tentukanlah mana yang merupakan teks kritik dan mana yang
merupakan teks esai. Jelaskan alasanmu!
Teks 1
Gerr
Oleh: Gunawan Muhammad
Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Gerrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia
bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari
cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu
Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini
sebagai ”teror”—dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia
punya pendekatan tersendiri kepada kata.
Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang ~sik yang menggebrak persepsi kita. Ia tak mengklaim satu makna. Ia tak berarti: tak punya isi kognitif atau tak punya manfaat yang besar. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan. Mungkin sosok itu (umumnya tak bernama) si sakit yang tak jelas sakitnya. Mungkin benda itu sekaleng kecil balsem. Atau selimut—hal-hal yang dalam kisah-kisah besar dianggap sepele. Dalam teater Putu Wijaya, justru itu bisa jadi fokus.
Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya
bercerita tentang kalangan miskin. Putu Wijaya tak tertarik untuk berbicara
tentang lapisanlapisan sosial. Teater Mandiri adalah ”teater miskin” karena ia,
sebagaimana yang kemudian dijadikan semboyan kreatif Putu Wijaya, ”bertolak
dari yang ada”.
Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. Siang hari ia akan bertugas sebagai wartawan. Malam hari, ketika kantor sepi, ia akan menggunakan ruangan yang terbatas dan sudah aus itu untuk latihan teater. Dan ia akan mengajak siapa saja: seorang tukang kayu muda yang di waktu siang emperbaiki bangunan kantor, seorang gelandangan tua yang tiap malam istirahat di pojok jalan itu, seorang calon fotograf yang gagap. Ia tak menuntut mereka untuk berakting dan mengucapkan dialog yang cakap. Ia membuat mereka jadi bagian teater sebagai peristiwa, bukan hanya cerita.
Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu
Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan
”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi
panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda
tersendiri. Juga teater yang hidup dari tarik-menarik antara patos dan humor,
antara suasana yang terbangun utuh dan disintegrasi yang segera mengubah
keutuhan itu. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan
dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia
didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang
dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen.
Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari
ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan
karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya
menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan
yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran.
Sartre pernah mengatakan, salah satu motif
menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada,
memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”. Saya kira ia salah. Ia
mungkin berpikir tentang keindahan dalam pengertian klasik, di mana tata amat
penting. Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di
mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan
pengertian klasik itu yang berlaku.
Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi,
bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan
manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi
tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa
bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam
teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam
puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri,
yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi,
bukan pesan, apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya
dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri,
hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian asing.
Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an,
ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan
apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le
vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti
melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror”
ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan
dalam hidup. Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas
yang sejati bertolak.
Teks 2
Menimbang Ayat-Ayat Cinta
Karya sastra yang baik juga bisa menggambarkan
hubungan antarmanusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Tuhan. Ini
karena dalam karya sastra seharusnya terdapat ajaran moral, sosial sekaligus
ketepatan dalam pengungkapan karya sastra.
Begitu pula yang ingin disampaikan oleh
Habiburrachman El Shirazy dalam novelnya yang berjudul Ayat-ayat Cinta. Novel
yang kemudian menjadi fenomena tersendiri dalam perjalanan karya sastra Indonesia,
terutama yang beraliran islami, karena penjualannya mampu mengalahkan buku-buku
yang digandrungi, seperti Harry Potter ini mengusung tema cinta islami yang
dihiasi dengan kon~ ik-kon~ ik yang disusun dengan apik oleh penulisnya.
Novel ini mengisahkan perjalanan cinta antara 2
anak manusia, Fahri sebagai pelajar Indonesia yang belajar di Mesir, dan Aisha,
seorang gadis Turki. Meskipun mengusung tema cinta tidak lantas membuat novel
ini membahas cinta erotis antara laki-laki dan wanita. Banyak cinta lain yang
masih bisa digambarkan, seperti cinta pada sahabat, kekasih hidup, dan tentu
saja pada cinta sejati, Allah Swt. Perjalanan cinta yang tidak biasa
digambarkan oleh Habiburrachman.
Nilai dan budaya Islam sangat kental dirasakan oleh
pembaca pada setiap bagiannya. Bahkan, hampir di tiap paragraf kita akan
menemukan pesan dan amanah. Ya, katakan saja paragraf yang sarat dengan amanah.
Namun, dengan bentuk yang seperti itu tidak kemudian membuat novel ini menjadi
membosankan untuk dibaca karena penulis tetap menggunakan katakata sederhana
yang mudah dipahami dan tidak terkesan menggurui. Gaya penulis untuk
mengungkapkan setiap pesan justru menyadarkan kita bahwa sedikit sekali yang
baru kita ketahui tentang Islam.
Latar yang
Dilukis Sempurna
Hal lain yang pantas untuk diunggulkan dalam novel
ini adalah kemampuan Habiburrachman untuk melukiskan latar dari tiap peristiwa,
baik itu tempat kejadian, waktu, maupun suasananya. Ia dapat begitu fasih untuk
menggambarkan tiap lekuk bagian tempat yang ia jadikan latar dalam novel
tersebut ditambah dengan gambaran suasana yang mendukung sehingga seakan-akan
mengajak pembaca untuk berwisata dan menikmati suasana Mesir di Timur Tengah
lewat karya tulisannya.
Bukan hal yang aneh kemudian ketika memang ’Kang
Abik’, begitu penulis sering dipanggil, mampu untuk menggambarkan latar yang
bisa dikatakan sempurna itu. Ia memang beberapa tahun hidup di Mesir karena
tuntutan belajar. Akan tetapi, tidak menjadi mudah juga untuk mengungkapkan
setiap tempat yang dijadikan latar. Bahkan oleh orang Mesir sendiri memang
tidak memiliki sarana bahasa yang tepat untuk mengungkapkan apa yang ingin ia
sampaikan.
Alur cerita juga dirangkai dengan begitu baik. Meskipun banyak menggunakan alur maju, cerita berjalan tidak monoton. Banyak peristiwa yang tidak terduga menjadi kejutan. Konflik yang dibangun juga membuat novel ini layak menjadi novel kebangkitan bagi sastra islami setelah merebaknya novel- novel teenlit. Banyak kejutan, banyak inspirasi yang kemudian bisa hadir dalam benak pembaca. Bahkan bisa menjadi semacam media perenungan atas berbagai masalah kehidupan.
Karakter
Tokoh yang Terlalu Sempurna
Satu hal yang ditemukan terlihat janggal dalam
novel ini adalah karakter tokoh, yaitu Fahri yang digambarkan begitu sempurna
dalam novel tersebut. Maksud penulis di sini, mungkin ia ingin menggambarkan
sosok manusia yang benar-benar mencitrakan Islam dengan segala kebaikan dan
kelembutan hatinya. Hal yang menjadi janggal jika sosok yang digambarkan begitu
sempurna sehingga sulit atau bahkan tidak ditemukan kesalahan sedikit pun
padanya.
Jika dibandingkan dengan karya sastra lama milik Tulis Sutan Sati, mungkin akan ditemukan kesamaan dengan karakter tokoh Midun dalam Roman Sengsara Membawa Nikmat yang berpasangan dengan Halimah sebagai tokoh wanitanya. Dalam roman tersebut, Midun juga digambarkan sebagai sosok pemuda yang sempurna dengan segala bentuk asik dan kebaikan hatinya. Hanya saja, di sini penggambarannya tidak menggunakan bahasa-bahasa yang langsung menunjukkan kesempurnaan tersebut sehingga tidak terlalu kentara. Ini di luar bahasa karya sastra lama yang cenderung suka melebih-lebihkan (hiperbola). Perbedaan yang lain adalah tidak banyak digunakannya istilahistilah islami dalam roman tersebut daripada novel Ayat-ayat Cinta.
Pembaca yang merasakan hal ini pasti akan
bertanya-tanya, adakah sosok yang memang bisa sesempurna tokoh Fahri tersebut.
Meskipun penggambaran karakter tokoh diserahkan sepenuhnya pada diri penulis,
tetapi akan lebih baik jika karakter tokoh yang dimunculkan tetap memiliki
keseimbangan. Dalam arti, jika tokoh yang dimunculkan memang berkarakter baik,
maka paling tidak ada sisi lain yang dimunculkan. Akan tetapi, tentu saja
dengan porsi yang lebih kecil atau bisa diminimalisasikan. Jangan sampai
karakter ini dihilangkan karena pada kenyataannya tidak ada sosok yang
sempurna, selain Rasulullah.
Buatlah perbandingan isi teks 1 dan teks 2 dengan menggunakan tabel
berikut ini.
Buatlah perbandingan cara pandang penulis kedua teks di atas dengan
menggunakan tabel berikut.
E. Latihan Soal
Cermatilah kutipan esai dan kritik berikut!
Esai
Tiap kali kita memang bisa mengidentifikasikannya
dari sebuah topeng kelelawar yang itu-itu saja. Tapi tiap kali ia dilahirkan
kembali sebagai seluruh jawaban baru terhadap tantangan baru. Sebab selalu ada
hubungan dengan hal ikhwan yang tak terulang, tak terduga dengan ancaman
penjahat besar The Joker atau Bane, dalam krisis Kota Gotham yang berbeda-beda.
Sebab itu, Batman bisa bercerita tentang asal mula,
tetapi asal mula dalam posisinya yang bisa diabaikan: wujud yang pertama tak menentukan
sah atau tidaknya wujud yang kedua dan terakhir. Wujud yang kedua dan terakhir
bukan cuma sebuah fotokopi dari yang pertama.
Kritik
Di sana, ada semacam kompromi antara semangat
eksperimen dengan hasratnya untuk tidak terlalu memberi beban berat bagi
pembaca. Rangkaian kalimat panjang yang melelahkan itu, diolah dalam kemasan
yang lain sebagai alat untuk membangun peristiwa.
Secara tematik, Lelaki Harimau tidaklah mengusung
tema besar, pemikiran filsafat, atau fakta historis. Ia berkisah tentang
kehidupan masyarakat di sebuah desa kecil.
Pencerita seperti sengaja tidak membiarkan dirinya
berdiri terpaku pada satu titik. Ia menyoroti satu tokoh. Kemudian, secara
perlahan beralih ke tokoh lain.Meski begitu, Lelaki Harimau, dilihat dari sudut
itu, tetap saja menghadirkan kekhasannya sendiri. Selain pola alur yang
demikian, Eka menggunakan kalimat- kalimat itu sebagai pintu masuk menghadirkan
rangkaian peristiwa.
Soal
1. Jelaskan perbedaan penggalan kritik dan esai dilihat dari bahasanya!
2. Jelaskan perbedaan pandangan penulis dalam penggalan kritik dan
esai?
Selamat Mencoba . . . ! ! !
EmoticonEmoticon